Jakarta (kabar-nusantara.com) –
Kematian Laura Anna, selebgram yang mengidap spinal cord injury (SCI)
mengejutkan publik. Pasalnya, gadis berusia 21
tahun ini masih tampak sehat dan ceria ketika tampil dalam sejumlah podcast dan
wawanacara yang tayang di internet sebelumnya. Ia mengalami
kelumpuhan akibat SCI sejak kecelakaan pada 2019 lalu. dilansir dari laman kompas.com (16/12/2021).
Namun kesehatannya
terlihat sudah menunjukkan perkembangan yang membaik, dan mulai kembali
beraktivitas. Banyak yang tidak mengetahui jika SCI bisa memicu
risiko kematian, seperti yang dialami Laura Anna. Masyarakat awam mengira
kondisi ini membuat penderitanya memiliki keterbatasan, namun tanpa risiko
kematian yang serius.
Dokter Spesialis
Orthopedi, dr. Asa Ibrahim, Sp.OT mengatakan, cedera sumsum tulang belakang di
leher alias spinal cord injury memang bisa menyebabkan kematian.
“Bisa. Secara umum dibagi dua, kematian
akibat SCI yang ‘early onset’, dan ‘late onset’ atau kematian yang cepat
terjadi, dan yang lambat terjadi.” Demikian tulis Asa Ibrahim lewat akun
media sosial Twitter miliknya, @asaibrahim. Kematian cepat disebabkan oleh
cedera SCI yang letaknya tinggi seperti pangkal atas leher.
Jadi selain kelumpuhan
tangan dan kaki, pasien juga mengalami lumpuh otot napas. Akibatnya, pasien
tidak bisa bernapas, sehingga meninggal dengan cepat pada waktu kejadian. Kematian cepat dalam beberapa jam setelah kejadian
traumatis juga bisa terjadi jika dipicu spinal shock. Kondisi ini terjadi
ketika fungsi saraf hilang secara menyeluruh, yang tidak hanya menyebabkan
kelumpuhan, namun juga penurunan kekuatan dan denyut jantung.
Selain itu, kondisi ini
juga memicu penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian lambat pada penderita SCI. Penderita SCI juga
berisiko mengalami kematian lambat yang terjadi setelah kejadian pemicu cedera.
“Untuk kematian yang ‘late onset’, beberapa yang paling sering adalah
komplikasi akibat kondisi korban yang mengalami kelumpuhan,” tulis Asa.
Pasien SCI mengalami kelumpuhan sehingga tidak bisa berjalan dan harus banyak
berbaring.
Kondisi ini memicu
peningkatan risiko infeksi paru-paru atau pneumonia yang bisa menyebabkan sesak
napas hingga kematian. Infeksi karena terlalu lama berbaring yang memicu risiko
kematian juga bisa terjadi pada kulit yang mengalami penekanan berlebihan.
Kondisi ini disebut pula
pressure ulcer atau dekubitus, sehingga lukanya terinfeksi dan menyebabkan
sepsis maupun bakteri masuk ke aliran darah. Asa menambahkan, pasien SCI juga bisa mengalami
infeksi pada saluran kencing. Pasien tidak bisa buang air kecil (BAK) secara
normal sehingga urine tertampung di dalam kandung kemih.
Mereka harus menggunakan
kateter untuk mengalirkan urin, yang jika digunakan terlalu lama dapat menjadi
penyebab infeksi saluran kencing. Ahli kesehatan yang praktik di RS Awal Bros
Panam, Riau ini mengatakan, penderita SCI perlu melakukan mobilisasi secara
rutin.
“Tidak berbaring
terus, kadang miring kanan, miring kiri, duduk, kemudian dilatih fisioterapi
gerakan-gerakan kaki dan tangan, selain itu juga menjaga kebersihan kateter
dengan baik/ganti berkala,” tulis dia.
Kelumpuhan yang membuat mereka
harus terus berbaring juga dapat memicu adanya stasis dan penjendalan pada
pembuluh darah atau trombosis. Akibatnya, muncul sumbatan pada pembuluh darah di
banyak tempat seperti jantung, paru-paru, dan otak. Kondisi tersebut tentunya
tidak ideal dan dapat memicu komplikasi seperti serangan jantung, stroke, dan
lainnya.
Asa mengatakan, penting
agar pasien SCI dibantu untuk menggerakkan tangan, kaki, bahu dan panggul
secara rutin. Tujuannya untuk membuat aliran darah lebih lancar, dan mengurangi
risiko penyumbatan yang dapat memicu risiko kematian.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mengapa Spinal Cord
Injury Bisa Memicu Kematian?”, Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/12/16/155849620/mengapa-spinal-cord-injury-bisa-memicu-kematian?page=2.