News  

A-PPI Magelang Raya Soroti Tradisi Pengkotak-kotakan Awak Media

Narwan, Sekretaris A-PPI Magelang Raya. (foto: A-PPI)

Magelang (Kabar Nusantara) – Awak media atau wartawan menjadi merupakan pilar keempat mewujudkan situasi kondusif mulai tingkat wilayah hingga nasional. Namun terkadang sering diabaikan oleh sejumlah pejabat di tingkat daerah.

Hal itu tampak nyata pada praktik-praktik kerjasama publikasi pada suatu dinas, instansi, lembaga, atau lainnya. Di mana mereka merangkul awak media hanya dari organisasi wartawan tertentu, sementara di daerah itu banyak terdapat organisasi wartawan yang lain.

Bahkan lebih lucu lagi ketika seorang awak media baik yang independen maupun tergabung dalam organisasi wartawan, saat mengajukan kerjasama dengan suatu dinas, harus “izin dulu” dengan organisasi tertentu itu.

Praktik-praktik semacam itu disorot oleh Asosiasi Pawarta Pers Indonesia (A-PPI) Magelang Raya. Karena dinilai mengkotak-kotakkan awak media atau wartawan.

Sekretaris A-PPI Magelang Raya, Narwan, mengatakan pengkotak-kotakan awak media dinilai sudah bukan zamannya. Karena semua wartawan memiliki tugas dan karya yang sama yaitu karya jurnalistik berupa berita atau informasi untuk masyarakat.

“Jadi awak media apa pun, entah bernaung dalam organisasi wartawan atau tidak, selama menghasilkan karya jurnalistik secara rutin di medianya, ya tetap wartawan,” kata Narwan, Minggu (05/10/2025).

Narwan menyebutkan, dalam Pasal 7 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinyatakan bahwa “Wartawan bebas memilih organisasi wartawan”. Pasal ini menegaskan hak wartawan untuk bergabung dengan organisasi pers yang mereka pilih dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

“Maka tidak ada keharusan seorang wartawan menjadi anggota suatu organisasi pers. Semua organisasi pers itu sama, tidak ada yang terbaik atau paling super. Artinya, semua wartawan, semua organisasi pers itu sama. Sehingga tidak ada keharusan dinas, instansi, lembaga, atau lainnya itu, harus kerjasama dengan wartawan atau organisasi pers tertentu atau sebaliknya,” ujarnya.

Namun demikian, Narwan mengatakan sangat tidak setuju bila ada pejabat atzu instansi yang mengkotak-kotakkan wartawan. Memang setiap pejabat atau instansi akan mengatakan “tidak membedakan awak media”, namun praktiknya masih dilakukan.

“Apa dasarnya seorang wartawan atau sebuah organisasi wartawan dibeda-bedakan, dipisah-pisahkan? Apakah praktik semacam itu memang sudah turun temurun? Ketika pejabat atau pimpinan terdahulu sudah kerjasama dengan organisasi Z, maka seterusnya harus begitu?” tanyanya retorik.

Sekretaris A-PPI Magelang Raya ini menilai bahwa praktik pengkotak-kotakan wartawan masih menjadi tradisi turun temurun. Lebih naif lagi, ujar Narwan, ada oknum awak media yang merasa hebat, karena bisa mengatur pejabat, namun sayangnya tidak diimbangi dengan adab yang baik.

“Sehebat apa pun seorang wartawan, sesenior apa pun dia, bila tidak memiliki adab yang baik, bisa mencederai profesi wartawan secara umum,” tukasnya.

A-PPI Magelang Raya, lanjut Narwan, menolak keras praktik pengkotak-kotakan wartawan di mana pun. Menurutnya, tindakan mengkotak-kotakkan wartawan adalah tindakan diskriminatif. Tidak layak dilakukan siapa pun, terlebih seorang pejabat atau pemangku kewilayahan.

“Stop pengkotak-kotakan awak media. Jangan tindakan diskriminatif sebagai tradisi turun temurun,” pungkasnya. (Syakira) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *