banner 728x250

Adaptasi Gaya Tari Mangkunegaran

Tari Klasik Srikandi - Bisma karya Dr. Daryono, S.Kar., M.Hum, nilai estetika dan geraknya banyak didominasi gaya tari Mangkunegaran. (foto: ISI Surakarta, 2007)
banner 120x600
banner 468x60

Kabar Nusantara – Apabila ditelisik dengan jeli berdasarkan kajian beberapa data pustaka menyebutkan bahwa di istana Mangkunegaran masa pemerintahan Sri Mangkunegara VII terdapat beberapa repertoar tari seperti, Bedhaya Bedhah Madiun, Srimpi Pandhelori, Srimpi Muncar, Golek Lambangsari, Golek Clunthang, dan sebagainya. Adapun yang menggelitik, nama-nama repertoar tari tersebut  terdapat pula dalam tari gaya Yogyakarta, namun anehnya nama-nama tari tersebut tidak dijumpai di  Kasunanan Surakarta atau dalam tari gaya Surakarta pada umumnya. Padahal secara geografis istana Mangkunegaran adalah bagian dari istana Surakarta. 

Seperti diketahui Mangkunegaran, meskipun hanya merupakan sebuah kadipaten, namun dalam kehidupan politisnya merupakan daerah otonom yang memiliki gaya kehidupan seperti gaya kehidupan istana, terlebih lagi pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara VII sebagai sosok pemimpin yang cukup menonjol  dalam sejarah Jawa. Sebagai seorang adipati, Sri Mangkunegara VII dikenal sebagai soerang penguasa yang gigih memajukan kesenian. Di antaranya adalah gebrakannya dalam memadukan tari antara gaya Surakarta dengan Yogyakarta.

banner 325x300

Akulturasi Budaya

Proses perpaduan ini merupakan ikon dari akulturasi budaya dari budaya komunitas yang lebih besar pada budaya komunitas kecil. Akulturasi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu di antaranya adalah karena perkawinan antara Sri Mangkunegara VII dengan putri Sri Sultan Hamengku Buwana VII dari Kasultanan Yogyakarta yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Timur. Dalam hal ini tari di Mangkunegaran sebagai budaya dari komunitas yang lebih kecil mengalami perubahan dan mendapat pengaruh dari gaya tari Yogyakarta yang berasal dari  komunitas yang lebih besar yaitu  istana Kasultanan Yogyakarta (Threresia Suharti, 1991).

Secara kongkrit Sri Mangkunegara VII mengirimkan putrinya sendiri yang bernama Gusti Nurul bersama saudara dan kerabat dekat  untuk belajar tari di Kasultanan Yogyakarta tepatnya di Kridha Beksa Wirama, salah satu lembaga tari yang berkembang di luar keraton. Di sinilah  para kerabat istana Mangkunegaran ini menimba ilmu tari dan karawitan dari  keraton Yogyakarta. Sedangkan untuk adaptasi tari putra dilakukan dengan mengundang guru agar bisa memberi pelajaran di Mangkunegaran.

Beberapa bentuk tari yang sudah dipelajari sejah usia Gusti Nurul memasuki usia ke-14 itu, kemudian diangkat sesui dengan apa adanya ke pura Mangkunegaran. Namun demikian ada salah satu pengecualian, bahwa ada beberapa bentuk tari Bedhaya, seperti Bedhaya Bedhah Madiun yang semula ditarikan oleh sembilan penari menjadi tujuh penari saja, mengingat kedudukan pura Mangkunegaran yang hanya berbentuk kadipaten saja, bukan seperti kasultanan atau kasunanan.

Adapun teknik dan bentuk  tari yang diangkat di pura Mangkunegaran, atas restu dan perkenaan Sri Mangkunegara VII yang memang berdarah seni, mengarahkan agar kesulitan teknik yang dihadapi karena garis-garis gerak tari gaya Yogyakarta yang lurus dan terkesan kaku, serta sulit dilakukan, bisa diolah dan dikembangkan dengan tujuan  dapat enak dilakukan oleh para penari dan berkesan lebih luwes.

Hal itu kiranya  bisa dimaklumi,  karena penguasaan teknik tari yang pertama, ibarat bahasa ibu dalam gerak tari, tidak mudah ditinggalkan begitu saja oleh komunitas pendukungnya. Sebagaimana diketahui, sebelum para penari Mangkunegaran menyerap gaya Yogyakarta, sudah lebih dulu menguasai tari gaya  Kasunanan Surakarta. Namun demikian bisa dipetik suatu hal yang positif,  bahwa justru dari pengaruh yang demikian tersebut, tari gaya Yogyakarta yang masuk ke lingkup Mangkunegaran menjadi gaya tari Mangkunegaran yang spesifik. 

Gaya tari Mangkunegaran, terutama pada tari putrinya, bila diamati secara jeli sosok visualnya jelas mempunyai warna gaya Yogyakarta,  namun rasa geraknya tidak bisa meninggalkan bahasa ibunya yang lebih mengacu pada gaya Surakarta. Seperti juga dalam busana Bedhaya dan Srimpi, tampak adanya sosok busana gaya Yogyakarta dari kain dan bajunya. Namun secara teknis kadang kain yang berfungsi sebagai  seredan digunakan pula sebagai samparan seperti dalam teknik tari gaya Surakarta. 

Para penari yang mendukung pembentukan  gaya tari Mangkunegaran  pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara VII ini, pada dasarnya terdiri dari putri dalem serta kerabat dekat Mangkunegaran. Lingkungan dalam  proses pembentukan ini merupakan interaksi, aktivitas, dan perasaaan dari persahabatan  secara internal. Kiranya dari sistem internal ini dapat membentuk  suatu gaya tari  yang dipengaruhi oleh para penari  sebagai pendukung terwujudnya sebuah penyajian tari. Semuanya itu tentunya tidak luput dari peran serta Sri Mangkunegara VII sebagai seniman maupun pimpinan pemerintahan dalam  memberikan dukungan baik moral maupun spiritual.

Proses Kreatif

Adapun tujuan dan motivasi untuk melahirkan bentuk baru dalam proses pembentukan gaya Mangkunegaran ini banyak dipengaruhi oleh sistem eksternal. Ide intelektual yang merupakan modal dasar utama dari kepemimpinan Mangkunegaran sengaja dielaborasikan  dalam bentuk proses kreatif guna mengungkapkan sesuatu yang baru. Sedangkan sebagai pimpinan komunitas yang juga berada dalam lingkungan tradisi, yang sebetulnya juga mengalami konflik dengan Kasunanan Surakarta, pihak Mangkunegaran sengaja berpaling ke Yogyakarta untuk merealisasikan  usaha yang menjadi ciri spesifik pada masa pemerintahannya. 

Maka tak mengherankan, pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara VII gaya tari Mangkunegaran berkembang secara pesat. Berbagai terobososan untuk menunjukkan legitimasinya dilakukan dengan kiat mengirimkan penari-penarinya untuk belajar di Yogyakarta dan kadang mengundang seniman-seniman Yogyakarta untuk berkiprah di Mangkunegaran. Dari usahanya tersebut, akses kultural tidak pernah stagnasi, malahan dapat menumbuhkan bentuk inovasi dalam gayanya yang spesifik dan fleksibel. (*) 

Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang
Provinsi Jawa Tengah
Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *