banner 728x250

Aliansi Mahasiswa Kalukku Gelar Dialog Publik, Omnibus Law Baik atau Buruk.

banner 120x600
banner 468x60

Kabar-nusantara.com, Mamuju,  Aliansi mahasiswa Kalukku melawan (KAWAN) mengelar dialog publik bertajuk “Omnibus Law baik atau buruk” kegiatan itu berlangsung di Warkop Nongkrong Launna Graha Lebbeng, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar) hari ini (27/10) 

Dialog di ikuti seluruh anggota Aliansi Kalukku Melawan bersama pemuda dan masyarakat yang hadir secara sukarela dan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber masing-masing, Rustam Timbonga, SH.MH, selaku praktisi hukum sekaligus akademisi, Muh. Risal, SH. Praktisi hukum dari LBH Manakarra, dan Edy Maulana Naro, SH. Juga praktisi hukum dari LBH Mandar Justisi. Diskusi  dipandu moderator Yuyun Hafrianti.

banner 325x300

Di awal acara Jenderal Lapangan Kalukku Melawan, Aco Wahid yang membuka acara tersebut mengatakan, “acara dialog ini sangat penting bagi generasi mudah guna memahami secara mendalam dan menilai apakah UU Cipta Kerja yang dikenal dengan istilah Omnibus Law baik atau buruk.

“Selama ini kita telah berjuang menentang dan melawan UU Cipta Kerja sampai turun ke jalan. hal ini merupakan bentuk tanggung jawab kita selaku generasi penerus bangsa, apa lagi besok kita akan  memperingati lagi hari sumpah pemuda 28 Oktober.” Ucap Aco.

Dalam dialog itu diawali pemaparan materi oleh narasumber yang disampaikan Muh. Risal, SH. Praktisi hukum dari LBH Manakarra ini menyorot proses pembahasan dan pengesahan Rancangan UU Cipta Kerja yang dipandangnya cacat prosedur yakni bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan aturan perundang-undangan khususnya bertentangan dengan asas keterbukaan, 

“Tidak ada ruang dan kesempatan bagi publik berpatisipasi dalam pembahasan RUU itu hal mana bertentangan dengan tata cara pembuatan aturan perundang-undangan jadi cacat prosedor.” Jelasnya.

Sementara itu, Rustam Timbonga, SH. MH. Sebagai Advokat senior dan sekaligus dosen Fak. Hukum menjelaskan bahwa baik buruknya UU Cipta Kerja atau yang dikenal dengan istilah UU Omnibus Law bukan kapasitas saya memberi penilaian, akan tetapi kita semua mempunyai hak menilai secara objektif. 

“Menurut saya baik buruknya suatu aturan perundang-undangan sangat tergantung penilain pihak-pihak yang berkepentingan, selalu saja ada pro dan kontra.” Ucapnya

Rustam Timbonga, lebih lanjut menjelaskan bahwa, secara teoritis proses pembuatan aturan perundang-undangan sudah ditur dalam UU No. 12 tahun 2011, tentang pembentukan Undang-Undang yang telah diubah berdasarkan UU No. 15 tahun 2019, UU itu harus memenuhi unsur-unsur : Kewenangan, Prosedur dan subtansi yang semuanya telah diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 itu. 

“Hal yang paling penting adalah norma dalam UU itu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yakni UUD 1945, karena kalau bertentangan  dengan konstitusi pasti dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, jika ada masyarakat yang menguji ke MK.” Urai Rustam

Untuk pembicara ke tiga, Edy Maulana Naro, SH. lebih fokus pada materi muatan RUU Cipta Kerja Klaster ketenagakerjaan. Ia menjelaskan ada banyak hal yang tidak sesuai dengan kepentingan pekerja yang sudah diatur dalam UU ketenaga kerjaan yang diubah dalam UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, tidak ada lagi batasan perjanjian kerja Waktu Tertentu sehingga tidak jelas sampai kapan tenaga kerja berkerja dalam perjanjian waktu tertentu.

Setelah pemateri memaparkan materinya maka dilanjutkan dengan babak diskusi yang dipimpin moderator Yuyun Hafrianti, didalam babak diskusi terjadi dialog antara para pserta dan nara sumber secara kekeluargaan sehingga berlangsung hikmat.

Bagian akhir dari dialog pemateri Rustam Timbonga, kembali menegaskan bahwa jangan dulu terburu-buru menilai baik atau buruk, tetapi mari kita menginventarisir pasal-pasal mana dalam RUU Cipta Kerja  yang bertentangan dengan UU yang sudah ada dan yang bertentangan dengan konstitusi sebagai bahan untuk mengajukan uji materi ke MK, karena mau tidak mau senang atau tidak senang, RUU Cipta Kerja ini tetap sah berlaku pada tanggal 5 November yang akan datang. Karena sesuai dengan ketentuan pasal 73 UU No. 12 tahun 2011, yang pada intinya mengatur bahwa RUU yang sudah disahkan Pemerintah bersama DPR dengan jangka waktu paling lama 30 hari presiden membubuhkan tanda tangan, dan jika presiden tidak menandatangani  RUU tersebut tetap berlaku dan sah menjadi UU.

“Jadi solusi yang dapat dilakukan untuk pembatalan UU melalui PERPU dan pengujian norma melalui uji materi ke MK.” Imbuhnya. 

(Gideon)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *