[Sukabumi, Kabar Nusantara] H. AHMAD SULASI, yang akrab di sapa pak Ahmad, beliau salah satu penggagas dan pendiri [LPWI] Lembaga Pendidikan Wartawan Indonesia. Domisili Lembaga milik Ahmad Sulasi yang berada di Grobogan Jawa Tengah ini sempat diam dan terhenti. Setelah sekian lama, Lembaga ini diam dan terhenti.! Seiring dengan kemunculannya dimasa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Menjadi momentum tersendiri bagi seorang Ahmad Sulasi untuk melanjutkan eksistensi LPWI. Memulai debut baru, mencoba bangkit dari Mati Suri. Di awal kebangkitannya, LPWI seakan Syokhipolemik. Jarum jam berputar dengan benar ternyata Ahmad Sulasi di banjiri apresiasi oleh para insan pers dan para jurnalis dari seantero pelosok negeri. Ragam warna, budaya suku bahasa dapat kita temui disini, dari berbagai class, seperti Aktifis dan Jurnalis pun ada disini. Dari mulai class amatiran hingga profesional semua akan bisa kita jumpai disini, di media online Kabar-Nusantara ini. Terbergabung dalam Sosial Media. seperti, “Grup Whatsapp Calon Wartawan dan Redaksi Kabar -Nusantara” serta akun resmi lainnya yang di buat Ahmad Sulasi. Senin sore [21/9]. sekilas informasi yang terhimpun tentang asal muasal LPWI.
Lembaga Pendidikan Wartawan Indonesia (LPWI) berdiri di Grobogan, Jawa Tengah pada tahun 1998, start awalnya “saya bersama teman-teman aktivis pers kampus IKIP Jogya. Diantaranya Muh Ngafuan” tuturnya mengawali pembicaraan. Seiring kemajuan lembaga kursus itu, masuklah para penulis profesional, Badiatul Mulisin, dan Purwadi Joko Widodo, penulis lepas di majalah Kartini, sebagai pembimbing di LPWI. Setahun kemudian masuk lagi seorang Akademisi dan pimpinan Jurnal Kampus dari IAIN Semarang, Sulaiman al-Kumayi sebagai pembimbing dan pembina LPWI.
Saat itu pemerintahan Suharto baru saja lengser. Kemudian Presiden Habiebie membuka kebebasan diberbagai bidang, termasuk pers bebas dan menyelenggarakan Pemilu pertama di masa reformasi. Tampaknya gejolak gerakan reformasi sedang mencari bentuk akhir, perebutan kekuasaan mulai terlihat dipanggung nasional. Gus Dur terpilih menjadi Preiden pertama di era reformasi. Tetapi tampaknya banyak pihak yang kurang puas dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Mulai ada banyak demo dimana-mana. “Dan akhirnya masyarakat menyaksikan kejatuhan pemerintahan Gus Dur yang tragis” kenangnya.
Berlanjut pada masa pemerintahan Megawati, lembaga kursus ini menggeliat mengikuti irama reformasi, melayani peserta kursus semakin luas jangkauanya, karena adanya kebebasan pers yang dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah dengan diterbitkanya Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Saya adalah saksi sejarah yang sempat menyaksikan silih bergantinya para pemimpin negri yang tak normal di awal reformasi” katanya. “saya katakan pergantian Presiden tidak normal karena tidak sesuai dengan Undang-undang RI thn 1945. Habiebie menjabat Presiden hanya sekitar 2 tahun, Gus Dur sekitar 3 tahun dan Megawati 2 tahun. Padahal didalam UUD 1945 jabatan Presiden adalah 5 tahun” tambahnya.
Kemudian pemerintahan Megawati berakhir dan Megawti kalah dalam pemilu. LPWI mulai kendor tidak terurus, dan akhirnya LPWI stop tak ada kegiatan, sekitar 15 tahun tak melayani kursus, yakni selama pemerintahan SBY dua periode dan masa awal pemerintahan Jokowi. “Baru tahun ini 2020, karena situasi adanya pandemi Corona, sesuai anjuran pemerintah “bekerja dari rumah” maka LPWI saya buka kembali” paparnya. “Untuk alumni LPWI jumlahnya ada ribuan tersebar di seluruh penjuru nusantara, dari Aceh sampai Irian Jaya (sekarang papua barat)” papar Ahmad Sulasi lewat pesan whatsapp nya.
“Ada yang nyeleneh di alam bawah sadar saya (reporter) mengatakan, tentang eksistensi lembaga ini. Awal berdiri pada saat runtuhnya rezim Orde Baru dan berakhir di masa kepemimpinan Megawati, [apa mungkin berdirinya LPWI ini hakikatnya untuk mengabadikan kebebasan pers pada era Orde Lama di negeri ini], tentunya ada konsekuensi serta kolerasi politik, saya ingin mendengar paparan yang sederhana, akan di bawa kemana lembaga ini kedepan,? Jawaban atas sikap dan harapan Ahmad Sulasi kedepan, “Waah… tidak tahu kalo kedepan akan seperti apa, dulu itu ya hanya sekedar kumpul bersama teman-temen membuat kegiatan begitu saja. Tetapi bagus juga ya, seandainya kita punya rencana kedepan LPWI mau kemana.
“Kalo saya seh maunya LPWI bisa maju, bisa melayani warga nusantara yang jauh di pelosok negri, yang mungkin hampir tak tersentuh oleh gemerlapnya ilmu pengetahuan, sebagaimana di kota-kota besar di Indonesia. Agar mereka yang berada jauh dari keramaian ibu kota tetap bisa menjadi pejuang-pejuang kemanusiaan, untuk perbaikan warga disekitarnya” katanya. Saya teringat beberapa tahun lalu saat LPWI mengundang para alumni untuk mengadakan Reuni. Yang bisa hadir dalam reuni itu tidak banyak, ya sekitar 100 personil alumni LPWI. Kami sempat 2 kali mengadakan Reuni di Sematang.
Pada kesempatan reuni seperti itulah kami dipertemukan dan bisa bersilaturrahmi dengan para peserta kursus LPWI, karena sebelumnya hanya kenal suaranya kalo mereka ada yang telepon kepada kami, selama ini hubungan kami hanya lewat surat pos, karena dulu LPWI diklat nya jarak jauh lewat surat pos. Pada saat reuni itulah kami bertemu, suasananya sangat bahagia, bercampur haru dan rindu. Mereka datang dari Aceh, dari Medan, Padang, jambi, Riau, Bengkulu, Palembang, Lampung, Jakarta, Banten, Bandung, kalimantan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, sampai Irian Jaya. Hampir dari semua provinsi ada yang hadir. Dan yg lebih mengharukan dan membahagiakan itu saat reuni kedua, di hotel Asrama Haji Semarang, “tak kusangka seorang guru besar dari Jakarta hadir dalam reuni LPWI, memang beliau tercatat sebagai peserta kursus wartawan di LPWI kira-kira2 setahun sebelumnya. Waktu beliau mendaftar di LPWI pun saya kaget dan hampir tidak percaya, masak seh ada seorang bernama Profesor Doktor Tarwotjo, MSc mau ikut kursus di LPWI.. yg biasanya hanya menerima pendaftaran dari tamatan SLTA, Sarjana, bahkan ada yang hanya SM. waktu hal ini saya tanyakan, beliau bilang sederhana saja, “ga apa2 pak, saya ini walaupun sudah tua tapi suka baca dan suka belajar hal-hal baru. Ternyata beliau seorang guru besar bidang spesialisasinya Etnografi. Jadi pada saat Reuni itu beliau langsung saya nobatkan sebagai pembicara, saya mohon beliau untuk mengisi acara, untuk memberi pencerahan kepada peserta reuni. Sehingga acara menjadi semakin meriah dan berkualitas” pungkasnya.
[Dedi Cobra]