Opini  

Mengajarkan Empati Sebagai Investasi Peradaban

Pendampingan personal guru kepada murid akan menguatkan ikatan emosional selama mengikuti pembelajaran di sekolah. (foto: Dwi)

(Kabar Nusantara) – Sebagaimana diketahui gelombang aksi unjuk rasa belakangan ini secara masif di beberapa daerah disinyalir banyak melibatkan anak-anak yang masih status sebagai pelajar. Menyikapi fenomena tersebut kiranya memang dibutuhkan kesadaran pentingnya menumbuhkan kemampuan empati dalam diri setiap individu.

Tak dipungkiri dengan berempati akan membuat seseorang mampu secara sadar melihat kondisi di sekitarnya, sehingga merasakan keadaan, perasaan, dan pengalaman orang lain, terutama di tengah-tengah berbagai kesenjangan ekonomi dan yang ada. Terlebih lagi pada saat sekarang ini, di mana kesulitan ekonomi melanda semua warga komunitas terutama golongan menengah ke bawah.

Empati tersebut dapat diandaikan sebagai otot organ tubuh manusia. Jika tidak digunakan, ia akan mengecil. Sebaliknya jika dipakai, ia akan tumbuh. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan membangun karakter yang berorietasi pada kebaikan, seperti empati dan mengelola emosi diri, tak kalah penting sebagai bagian dari memperkuat pembelajaran sosial emosional (Kompas, 03/09/2025)

Memahami perasaan

Berdasarkan etimologinya empati berasal dari kata pathos (dalam bahasa Yunani) yang berarti perasaan mendalam. Apabila dikaji lebih mendalam empati berarti masuk ke dalam diri seseorang dan melihat keadaan dari sisi orang tersebut, seolah-olah ia adalah bagian dari orang tersebut.

Seseorang dapat dikatakan memiliki empati jika ia dapat menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola acuan orang tersebut, dan mengomunikasikan penghayatan bahwa dirinya memahami perasaan, tingkah laku dan pengalaman orang tersebut secara pribadi (Asri Budiningsih, 2004).

Tindakan praksis dalam empati itu sejatinya tak lain yaitu kapabilitas untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Nilai ini penting ditanamkan sejak anak masih kecil agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang peduli, menghargai sesama, dan mampu membangun relasi sosial yang sehat.

Di dunia yang semakin berkembang dengan arus informasi tak terbendungkan ini, dirasakan empati terhadap pandangan dan pendapat orang lain semakin jarang. Masing-masing bersikukuh mengedepankan pendapat dirinya yang paling benar. Ego personal tersebut, kiranya perlu menjadikan perhatian bersama agar tidak berlarut-larut yang ujung-ujungnya berorientasi pada tindakan memaksakan kehendak.

Melalui praktik yang tepat, seperti meditasi, persahabatan beragam, tindakan welas asih, membaca fiksi yang kaya kandungan nilai humaniora, dan beragam tindakan praksis moral lainnya sikap empati tersebut dapat ditumbuhkan, sebagaimana otot yang terus digunakan nantinya akan bertumbuh.

Lembaga pendidikan

Tidak bisa dipungkiri, lembaga pendidikan seperti sekolah sebagai satuan pendidikan merupakan tempat efektif untuk menyemai tunas-tunas muda ini dalam membentuk nilai karakter termasuk sikap empati bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya. Penanaman nilai moral ini memiliki banyak bentuk, kegiatan, sikap, pola pikir, dan perilaku yang melibatkan seluruh anggota komunitas sekolah, mulai dari guru, tenaga kependidikan, karyawan, staf manajemen sekolah, orang tua dan masyarakat.

Sehubungan dengan peran sekolah, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) terus mendorong dunia pendidikan untuk mulai aktif mengarusutamakan pembelajaran sosial emosional di ruang sekolah hingga komunitas. Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, peran keterampilan sosial dan emosional dalam lanskap pendidikan menjadi semakin signifikan.

Keterampilan sosial dan emosional tersebut memungkinkan individu untuk mengelola emosional, menjalin hubungan positif, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab. Hal ini dinilai penting untuk membuka potensi dan bakat murid, sekaligus untuk menghadapi tantangan yang menghadang kelak di kemudian hari.

Meningkatkan kemampuan empati untuk ikut merasakan dan memahami perasaan orang lain adalah komponen penting dari keterampilan sosial dan emosional. Penguatan empati dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung pembelajaran kondusif di sekolah. Murid yang mampu bersikap empati akan lebih mungkin untuk menjalin hubungan yang positif dengan teman-teman mereka.

Sikap empati merupakan tindakan yang memperhatikan hal-hal yang terjadi dalam diri orang lain dan lingkungan sekitarnya. Dalam pembelajaran di kelas guru dapat mengelaborasikan dan menanamkan sikap empati ini dengan berbagai tindakan praksis. Misalnya menanyakan teman sekelas yang tidak masuk dan menghimbau untuk menengok, membantu guru yang kesulitan saat memasang alat peraga pembelajaran, membantu teman-teman sekelas yang ketinggalan pembelajaran karena mengikuti kegiatan sekolah. Hal-hal kecil seperti itu apabila menjadi suatu habituasi, akan menjadikan sikap empati muncul secara natural dari lubuk hati yang paling dalam.

Adapun manfaat dari sikap empati tersebut di antarara adalah, pertama kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda. Kesadaran personal akan perbedaan ini akan mendorong murid mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan

Kedua, menghilangkan arogansi. Kemampuan berempati mendorong murid tidak hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif terhadap individu itu juga mereduksi sikap arogansi atau kesombongan.

Ketiga, memahami perspektif orang lain. Dengan memahami perspektif orang lain akan membuat murid menyadari bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memperhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya.

Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, dan emosi yang matang. Tingginya empati memungkinkan murid untuk lebih mudah memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain, yang memengaruhi keputusan mereka berdasarkan nilai moral yang diterima dari lingkungan sekitar.

Dalam konteks pembentukan karakter termasuk penanaman nilai empati ini, keluarga merupakan pembentuk karakter pertama dan utama bagi murid. Keluarga sesungguhnya merupakan penyemai nilai-nilai luhur yang dialamai oleh individu pertama kalinya. Bila keluarga telah menjadi sumber pembentukan nilai-nilai pertama bagi murid, sekolah semestinya melanjutkan tugas mulia itu dengan memperkokoh dan menguatkan sesuai prosedur yang berlaku secara normatif.

Dengan demikian, mengajarkan empati bukanlah proses instan. Diperlukan konsistensi, keteladanan, dan lingkungan yang mendukung. Namun, jika ditanamkan sejak dini, anak akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berhati lembut dan penuh kasih.

Kita yakini, bahwa mengajarkan empati pada anak-anak sejak usia dini merupakan skala prioritas yang orientasinya tak sekadar investasi pendidikan, tapi merupakan investasi peradaban yang akan menjadikan bangsa Indonesia semakin solid karena generasinya paham serta mampu mengaplikasikan nilai-nilai empati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumnus ISI Yogyakarta dan
Magister Pendidikan UST Yogyakarta

 

Penulis: Ch. Dwi AnugrahEditor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *