banner 728x250

Penghuni Lapas Kelas II B Gunungsitoli, Adalah Terpidana Kasus Pembunuhan Jumlah 31,5 % dan Kasus Narkoba 27%.

banner 120x600
banner 468x60

 

Kabar-nusantara.com, Gunungsitoli – Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas II B Gunungsitoli, Soetopo Berutu menyatakan, penghuni Lapas paling banyak adalah kasus pembunuhan sebanyak 63 orang dari 167 narapidana, kata Soetopo di kantornya Senin (18/1)

banner 325x300

Dan urutan kedua terbanyak adalah kasus narkoba sebanyak 54 orang. Sementara, sisanya terjerat beragam kasus mulai dari penganiayaan 33 orang, KDRT 5 orang, kasus UU perlindungan anak dan asusila 40 orang, kasus kekerasan senjata tajam 2 orang dan lainnya merupakan terpidana korupsi dan judi.

Kalapas Gunungsitoli kepada wartawan, diruang kerjanya menyampaikan keprihatinannya atas meningkatnya jumlah terpidana kasus pembunuhan dan kasus narkoba. “Kami sangat prihatin melihat tingginya kasus tindak pidana pembunuhan, penganiayaan dan narkoba juga tindakan asusila,” katanya. 

Artinya, kira-kira hampir setengahnya merupakan tindak pidana kekerasan dan menghilangkan nyawa manusia, apakah ini merupakan dampak dari mengonsumsi minuman keras (miras), kami belum bisa memastikan kebenaran info ini. 

Memang menurut pengakuan para warga binaan ada yang mengatakan sebelum kejadian sempat meminum tuak suling (tuo nifarô) nama lain dari miras bahasa nias, tetapi bisa saja disebabkan oleh  hal-hal sepele di kampung bisa jadi iya, tetapi bisa juga tidak. 

Menurut Soetopo, ada yang kurang pas di kehidupan sosial masyarakat. Sehingga saudara-saudara kita pelaku kekerasan itu sampai lepas kontrol dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Kedepan kami mengharapkan agar Pemerintah Daerah bersama jajarannya sampai ketingkat Desa dan teman-teman  Penegak Hukum (Gakkum) lain untuk tidak jemu-jemunya mengajak dan mengingatkan masyarakat agar saling mengasihi. 

Masarakat harus diarahkan agar tidak mudah menyakiti sesama, dapat menahan diri, tidak mudah emosi dan lebih baik berdamai bila ada masalah. Bagi warga yang biasa mengonsumsi miras agar minum secukupnya dan untuk lebih aman diminum dirumah saja, sehingga tidak mengganggu orang lain.

Soetopo juga memberikan masukannya, agar miras Tuo Nifarô (TN) dapat diusulkan dan lebih memiliki nilai komersil dibuat perda seperti Tuak Bali (arak bali) dikemas dan dijual dengan nilai tinggi dan tidak sembarang masyarakat mengunakannya. “Sehingga petani TN di bantu pemda dalam pengelolaannya bila perlu dibuat sanksi sosial bagi pelanggarnya,” katanya.

Perlu dipahami bersama dampak negatif yang timbul bila kasus pembunuhan dan penganiayaan terus terjadi, dikhawatirkan menjadi dendam keturunan. Sebab mungkin korban merasa tidak adil dan tidak puas, maka perlu dimediasi oleh tokoh adat agar terjadi perdamaian sebagai satu hal yang dititipkan para leluhur kita. 

Dampak dari tindak kekerasan ini menghancurkan masa depan, baik keluarga korban maupun anak-anak dari pelaku sendiri, hilangnya masa depan keluarga karena pembunuhan ini akan dibully oleh sesama anak-anak kalau orang tuanya jadi pembunuh. Tidak sedikit anak-anak pelaku pembunuhan  yang malu ke sokolah dan memilih putus sekolah.

Bisa dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak ini nantinya, demikian juga bagi keluarga korban, tidak jauh berbeda sengsaranya, bekas luka akan membekas sepanjang masa, luapan emosi, hilangnya sosok Kepala Keluarga sebagai panutan, penasehat keluarga sudah tidak ada, masa depan anak-anak sudah dipastikan akan buruk juga.

“Mau sampai kapan ini akan terjadi, di keluarga kita di kepulauan Nias ini, perlu kita kembali duduk bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, OKP, LSM tokoh Pers dan Gakkum,” pungkas Soetopo.  (Sinema)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *