Kilang migas sebagai penunjang kebutuhan migas nasional
Kabar-nusantara.com Balikpapan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalamie defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor migas dibandingkan dengan jumlah produksinya di dalam negeri. Menanggapi itu, SKK Migas pun mencanangkan target produksi minyak (lifting) sebanyak 1 juta barel per hari pada 2030.
Hal itu didasarkana pada data yang menunjukkan masih banyak potensi cadangan migas yang masih tersimpan di perut bumi dan belum dieksplorasi.
Sayangnya, industri migas sudah terlanjur dilabeli sebagai industri yang meredup (sunsetn Idustry). Generasi muda di Indonesia lebih cenderung memilih industri start-up atau lainnya untuk mengejar karier daripada terjun di industri hulu migas.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
merasa prihatin dengan penurunan produksi migas saat ini. Mimpi besar SKK Migas pada
2030 mendatang, ingin mengembalikan kejayaan produksi minyak yang mencapai 1 juta barel per hari.
Keinginan ini dapat tercapai mengingat masih banyak cadangan migas di Indonesia yang belum diekplorasi.
“Kita prihatin, produksi Migas turun terus dari waktu ke waktu. Sejak 2002-2003 terus terjadi penurunan (hingga saat ini). Publik bertanya-tanya mengapa terus terjadi penurunan
produksi?” ujar Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto saat dihubungi baru-baru ini.
Dia mengatakan, temuan cadangan migas terbesar terjadi pada 20 tahun lalu.
Sejak saat itu, tidak ada temuan yang cukup besar. “Blok Masela cadangannya ditemukan tahun 1999,” katanya.
Dengan kondisi seperti saat ini, produksi migas dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. “Kami, SKK Migas sedang (mengibarkan) bendera setengah tiang karena kami menyebutkan bahwa produksi dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,” bebernya.
Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengungkapkan bahwa
target produksi minyak satu juta bph wajar banyak kendala yang dihadapi. Pasalnya,
belum merupakan proyek, belum ada proyeknya dan juga rincian yang spesifik untuk itu.
Sehingga, memang wajar kalau dikeluarkan dari usulan PSN.
“Angka satu juta bph itu kan juga belum didasarkan atas suatu hasil kajian teknis yang
matang,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, (20/10).
Menurut Pri Agung, target 1 juta bph yang selalu didengungkan pemerintah hingga kini
tidak memiliki road map yang jelas sehingga lebih merupakan keinginan belum bisa
disebut sebagai target. Sementara PSN, mestinya kan sudah berupa project yang sudah
jauh lebih spesifik, jelas, terperinci, dan terukur.
“Jadi, cenderung masih lebih ke arah keinginan saja. Untuk disebut sebagai target juga
belum bisa menurut saya karena rincian prgram dan step-step nya didalamnya yang
spesifik dan terukur juga belum ada,” ujarnya.
Pemerintah sendiri beberapa kali menyatakan beberapa langkah yang disiapkan untuk
menuju produksi satu juta bph adalah dengan mengoptimalkan lapangan migas yang telah
berproduksi dengan Enhance Oil Recovery (EOR). Penemuan cadangan baru serta
menggenjot lapangan serta sumur migas tua.
Tapi menurut Pri Agung apa yang terjadi di lapangan masih belum jelas tahapan serta
implementasi rencana seperti apa yang harus dilakukan. Pemerintah juga belum
mengungkapkan ke publik mengenai proses untuk mencapai produksi 1 juta bph.
“Sepanjang yang saya tahu belum ada (kejelasan tahapan) dari eksplorasi-eksploitasi
lapangan mana saja, proyek EOR atau proyek development apa saja, berapa masing nilai
investasinya, siapa yang akan melakukan, bagaimana tahapan tata waktunya, saya belum
pernah melihat terus terang,” ungkap dia.
Menurut Pri Agung, tantangan untuk mencapai produksi satu juta bph semakin bertambah
berat dengan kondisi ekonomi baik global maupun nasional pada tahun 2020 yang juga
makin tertekan dengan adanya pandemi Covid-19.
Pri Agung menuturkan 2020 adalah tahun survival, baik karena pandemi covid maupun
karema tren harga (minyak) “new normal” yang rendah. Jadi fokusnya lebih pada
bagaimana aktivitas di industri hulu migas dan industri penunjangnya, tetap dapat bertahan
dan berjalan dengan baik. Dapat tetap beroperasi dengan normal, tidak ada penutupan
sumur atau lapangan, tidak ada lay off tenaga kerja dan lain sebagainya.
“Bisa mencapai keadaan seperti itu saja sudah bagus. Tidak usah terlalu jauh menjangkau
pemikiran satu juta barel tahun 2030 dulu. Itu butuh kondisi yang kondusif yang tidak
seperti 2020 ini. Selain butuh kerja keras dan perlu banyak terobosan tentunya,” kata Pri Agung.
(Andy Are)