banner 728x250

APAKAH Terawan bukan lagi dokter? Setelah dipecat secara permanen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?

banner 120x600
banner 468x60

banner 325x300
KOLOM:  NASIB
TERAWAN;  Oleh : Dahlan Iskan; Dilansir dari laman maspolin.id  (28 Maret 2022)

 Tentu Terawan tetap dokter. Sepanjang ijazah dokternya tidak
dicabut –oleh universitas yang memberikannya: Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia juga
tetap dokter sepanjang ilmu kedokterannya tidak dicabut dari otaknya –oleh
Tuhannya: Yesus.

 

Apakah Terawan masih bisa buka praktik sebagai dokter?

Sepanjang pemerintah masih mengizinkan, Terawan tetap bisa
praktik.

Apakah Terawan masih bisa bekerja di rumah sakit –RS Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta?

Sepanjang direktur di RS tersebut masih memercayainya,
Terawan tetap bisa bekerja di sana.

Intinya: semua terserah pemerintah. Yang mengeluarkan izin
itu pemerintah –Kementerian Kesehatan. Bukan IDI.

 

Masalahnya: dengan pangkat yang sudah letnan jenderal
TNI-AD, apakah Terawan masih memerlukan untuk berpraktik sebagai mata
pencaharian. Jabatan di dunia kedokteran juga sudah mencapai puncak: menteri
kesehatan. Sebelum itu pun sudah direktur RSPAD. Sebagai ilmuwan, Terawan juga
sudah mencapai puncaknya: bergelar doktor.

 

Inilah dokter dengan capaian tertinggi yang pernah dipecat
secara permanen dari IDI.

 IDI adalah organisasi. Semua anggotanya harus dokter.
Sebagai organisasi biasa, IDI punya aturan dasar (AD/ART) yang harus ditaati.
Sebagai organisasi profesi, IDI punya kode etik yang juga harus diikuti.

 

Rasanya Terawan dianggap lebih melanggar kode etik daripada
melanggar AD/ART. Itu bisa dilihat dari proses pemecatannya: lewat
sidang-sidang dewan etika dokter. Yakni, satu lembaga yang mengawasi apakah
seorang dokter melanggar etika kedokteran atau tidak.

 

Apakah karena Terawan gigih ”melahirkan” Vaksin Nusantara di
awal pandemi, lalu dianggap melanggar kode etik IDI?

Rasanya bukan itu. VakNus itu murni soal izin dari BPOM.
Izin tersebut tidak keluar karena VakNus tidak memenuhi kriteria definisi
vaksin.

 

Saya pun pernah menulis: mengapa Terawan ngotot menyebutnya
vaksin. Mengapa, misalnya, tidak menyebutnya terapi dendritik. Toh, para dokter
yang mempraktikkan stem cell atau PRP atau juga cell cure tidak ada yang
dipecat dari IDI.

 

Rasanya pemecatan ini masih terkait dengan cuci otak. Yang
dikembangkannya jauh sebelum VakNus. Ia pernah dipecat sementara dari IDI di
soal cuci otak itu. Terawan dianggap tidak mau mempertanggungjawabkannya secara
ilmu kedokteran di depan IDI.

 

Waktu itu ributnya juga luar biasa. Tidak kalah dengan
VakNus. Medsos belum seeksis sekarang. Keriuhan waktu itu hanya terlihat di
media mainstream.

 

Saking ributnya, saya sampai ingin mencoba sendiri. Saya ke
RSPAD. Saya minta dilakukan ”cuci otak”. Masih dr Terawan sendiri yang
mengerjakan. Belum seperti sekarang –sudah banyak dokter binaan Terawan yang
bisa melakukannya.

 

Lalu, saya menulis pengalaman saya menjalani praktik cuci
otak itu (lihat Disway, 19/3/2021: Empat Misi Terawan). Sampai dua atau tiga
seri. Istri saya minta terapi itu juga. Syaratnya: saya harus bersamanya. Maka,
dua kali saya menjalani cuci otak.

 

Begitu banyak tokoh nasional yang juga menjalaninya –sebelum
dan sesudah saya. Lebih banyak lagi yang bukan tokoh: sudah lebih dari 40.000
orang.

 

Terawan dianggap tidak pernah mau mempertanggungjawabkan
itu. Sebenarnya ia bisa minta: agar pemecatan sementaranya itu ditinjau. Lewat
muktamar IDI berikutnya. Terawan tidak mau memanfaatkan proses itu. Sampailah
ada Muktamar IDI 2022. Di Aceh. Pekan lalu. Status pemecatan sementara itu
tidak boleh terus menggantung: Terawan dipecat secara permanen.

 

Di masa lalu Terawan mengatakan: pernah memberikan
penjelasan yang diminta. IDI menganggap belum cukup. Terawan menganggap cukup.
IDI terus mempersoalkan. Terawan memilih diam seribu bahasa –sambil terus
mempraktikkan terapi cuci otak.

 

Belakangan Terawan menulis disertasi: untuk meraih gelar
doktor. Di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Disertasinya soal cuci
otak itu. Terawan pernah mengatakan kepada saya: itulah pertanggungjawaban
tertinggi secara ilmiah soal cuci otak.

 

Disertasi itu diterima tim penguji di Unhas. Terawan berhak
atas gelar doktor cuci otak.

Terawan tidak melayani permintaan IDI. Ia abaikan begitu
saja.

Apakah tanpa menjadi anggota IDI Terawan masih dokter?  Anda sudah tahu.

 

Masalahnya, tidak ada organisasi dokter di luar IDI.
Berarti, Terawan adalah dokter independen.

Di antara organisasi-organisasi profesi (dokter, wartawan,
pengacara, dan yang sejenis), IDI memang paling solid. Semua organisasi profesi
sudah tidak tunggal lagi. Organisasi wartawan tidak lagi hanya PWI. Organisasi
pengacara lebih banyak lagi.

 

Hanya para dokter yang tidak mau membentuk organisasi di
luar IDI. Mungkin itu karena ada legalitas yang kuat untuk IDI: izin praktik
dokter tidak bisa diterbitkan kalau tidak ada rekomendasi IDI. Di situ tertulis
eksplisit: IDI. Bukan organisasi dokter.

 

Saya tidak tahu apakah sudah ada yang mempersoalkan
”monopoli” IDI itu secara hukum. Tapi, harus diakui: IDI adalah organisasi
profesi yang paling ketat mengontrol anggotanya. Yang terketat. Organisasi
wartawan begitu longgar. Pun organisasi advokat.

 

Pelanggaran etika wartawan dan etika advokat begitu banyak.  Padahal, sebuah profesi tanpa pengawasan kode etik sangat
bahaya.  Salah satu kriteria sebuah pekerjaan bisa disebut profesi
adalah: apabila pekerjanya memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak
melakukan.

 

Seorang dokter harus memutuskan sendiri obat apa yang harus
diberikan ke pasien. Berdasar ilmu yang mereka kuasai. Dokter tidak bisa
didikte siapa pun dalam mendiagnosis dan memberikan obat.

 

Wartawan seharusnya juga begitu. Ia punya otonomi untuk
menulis apa pun atau tidak menulis apa pun. Bukan karena disuruh atau dilarang
oleh siapa pun –termasuk oleh penguasa dan pemilik amplop: tepatnya pemilik isi
amplop.

 

Pun pengacara: semestinya membela yang ia anggap benar dan
keadilan harus ditegakkan –apa pun risikonya. Dokter, menurut pengamatan saya,
adalah yang paling tinggi kadar ketaatan pada kode etiknya. Dan IDI
mengontrolnya dengan ketat –lewat dewan etiknya.

 

Saya sering melontarkan tantangan: ayo buka-bukaan. Dalam
satu forum profesi. Temanya: siapa di antara organisasi profesi yang paling
rusak –yang pelanggaran kode etiknya paling parah. Itu sebagai bagian dari misi
agar para pekerja profesi lebih taat pada kode etik mereka.

 

Terjadinya pelanggaran etika di berbagai profesi jelas:
karena uang. Atau jabatan. Atau fasilitas. Dan ini bagian yang sangat memalukan
dari sebuah profesi.

 

Tapi, ini dia: pelanggaran etika yang dilakukan Terawan
tidak ada hubungannya dengan uang atau jabatan atau fasilitas. Itu murni
masalah keilmuan –mengerjakan menyembuhkan di luar ilmu kedokteran. Maka, Terawan tidak perlu malu dipecat dari IDI. Pun kalau
salah –dalam Islam– ia masih harus dapat pahala.

 

”Salah” di situ bisa dibuktikan dengan jatuhnya korban –saya
dua kali menjalani cuci otak: baik-baik saja. Saya dan banyak relawan
mendapatkan VakNus –alhamdulillah, Anda sudah tahu, baik semua. (Dahlan Iskan)

 

Sumber:   https://maspolin.id/2022/03/28/nasib-terawan/tulisan-kolom/

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *