banner 728x250

Sila Ketuhanan dalam Perspektif Islam

banner 120x600
banner 468x60

 

banner 325x300

Sila Ketuhanan dalam Perspektif Islam (oleh Erlangga Danny)

Dilansir dari Laman www.kompasiana.com 


Manusia ialah homo socius. Ia tidak bisa
hidup tanpa pertolongan orang lain. Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh
manusia ialah dapat berbicara untuk berkomunikasi dengan yang lain. Namun
diluar itu, manusia juga memerlukan sesuatu diluar dirinya. Maka, manusia
memerlukan kebutuhan tidak hanya fisik saja, melainkan pula kebutuhan
eksistensi.


ksistensi.

Untuk
mengatasi gangguan keamanan, manusia memerlukan dua aspek, pertama aspek fisik
dan kedua ialah aspek eksistensial. Aspek fisik terdiri dari makan, obat-obatan
dan tubuh yang kuat untuk menghadapi lawan. Aspek eksistensial bertujuan untuk
mengembangkan sarana yang bersifat immateriil yang dapat menjadi perekat dalam
kehidupan bermasyarakat.

Rasa cinta
kasih dan sikap kebersamaan yang ada dalam diri setiap manusia adalah hal yang
dapat menggerakkan akal dan pikiran manusia untuk menciptakan pranata-pranata
dalam kehidupan bermasyarakat.

Pranata
ialah suatu sistem dimana dalam sistem tersebut terdapat peraturan-peraturan.
Pada dasarnya, manusia hidup dalam bermasyarakat senantiasa berpranata, artinya
segala sesuatu tindakan dan perilakunya selalu diatur menurut cara-cara
tertentu yang telah disepakati bersama.

 

Dilihat dari
tujuannya, pranata terdiri dari dua macam, yakni pranata spiritual dan pranata
norma. Pranata spiritual inilah yang berkaitan dengan hubungan antara
masyarakat dengan sesuatu yang ada diluar dirinya. Sesuatu ini yang disebut
sebagai Tuhan oleh
manusia sebagai sesuatu penolong bagi mereka.

 

Dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, berbunyi:

“Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini, kemerdekaannya.”

Ini
menyiratkan rasa syukur perjuangan bangsa Indonesia dalam berhasilnya tuntutan
politiknya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Keberadaan Tuhan dalam sejarah
perkembangan masyarakat Indonesia ialah sesuatu yang inheren sejak dahulu.

 

Dengan rasa
syukur ini, bangsa Indonesia memiliki suatu kewajiban moral yang harus dipikul
untuk mewujudkan suatu bangunan ideal masa depan, suatu tatanan dengan
terciptanya suasana masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan
bertanggung jawab kepada Tuhan sebagai makhluk-Nya. Tentunya perasaan ini yang
membedakan bangsa Indonesia dengan yang terjadi di negara Eropa.

 

Manusia
ialah makhluk yang senantiasa merenungkan kehidupan. Sebagai makhluk yang
berakal dan bernafsu, manusia tidak pernah merasa puas terhadap segala keadaan
yang terjadi. Ia senantiasa mencari tahu segala apa yang terjadi di sekitarnya
hingga mencapai kebenaran yang hakiki. Bagi manusia yang belum berilmu, alam
ialah sesuatu ajaib yang jatuh begitu saja. Ia adalah tempat untuknya untuk
hidup, ditakuti, dan keramat baginya. Timbullah kepercayaan dalam dirinya akan
kekuatan alam.ini.

 

Sejak zaman
batu hingga masa kebudayaan perunggu, rasa ketuhanan masyarakat Indonesia
diwujudkan dalam bentuk kepercayaan terhadap animinsme dan dinamisme. Animisme
ialah suatu kepercayaan dimana roh manusia yang telah meninggal memiliki
kekuataan untuk menguasai alam. Bahkan mereka juga memiliki kepercayaan apabila
roh itu bisa masuk ke dalam tubuh hewan tertentu untuk menguasai hewan itu.
Sistem kepercayaan ini dibarengi dengan sistem kepercayaan dinamisme, dimana ia
ialah suatu kepercayaan terhadap suatu benda tertentu yang memiliki kekuataan
tertentu.

 

 Ketika manusia belum mengetahui akan tubuhnya,
saat itu mereka mulai mempercayai bahwa segala aktivitas-aktivitas mereka,
pikiran dan perasaan mereka tidaklah dikendalikan oleh tubuh mereka, melainkan
suatu nyawa yang ada dalam tubuh mereka dimana nyawa itu akan berpisah dengan
tubuh mereka ketika mereka meninggal.

 

Sejak itu,
manusia didorong untuk memikirkan akan hubungan nyawa dengan dunia luar. Lalu
timbulah ide tentang kekekalabadian. Jika nyawa itu sudah berpisah dengan tubuh
mereka ketika meninggal, timbullah kebingungan pikiran apa yang harus diperbuat
terhadap nyawa itu. Disaat inilah ide akan kekekalabdian ini justru dianggap
sebagai takdir yang bagi mereka yang membawa malapetaka yang mungkin tiada guna
bagi mereka untuk mengadakan suatu perlawanan

Sistem
persembahan ini senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan hidup
manusia. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Lists, perkembangan manusia
ialah tahapan yang evolusioner dimana ia dimulai dari fase hidup berburu, lalu
beternak, kemudian bercocok tanam.

 

Ketika
manusia mengalami fase hidup berburu; petir, matahari, sungai, menjadi
sesembahan bagi manusia untuk menolong mereka dalam berburu. Cara hidup manusia
pada masa itu mempengaruhi alam pikiran dan sesembahannya. Demikianlah anggapan
masyarakat Indonesia sederhana yang menganggap bahwa alam sekitarnya memiliki
jiwa seperti halnya manusia.

 

Sistem
penyembahan ini berubah ketika manusia memasuki fase hidup beternak. Oleh
karena manusia mulai menyadari bahwa hewan yang diburu itu lalu dipelihara
untuk menghasilkan sesuatu, Tuhannya pun berubah. Saat manusia memasuki fase
hidup bercocok tanam, mereka mulai menyembah kepada Dewi Laksmi, Dewi Sri.

 

Dengan hawa
tropika ini, tentu mereka tanpa memutar otak lagi untuk menanamnya. Sebuah kayu
saja yang ditancap di tanah tentu akan menjadi tanaman singkong. Bangsa
Indonesia adalah yang pertama kali mengenal bercocok tanam di dunia terutama di
daerah yang subur untuk menghasilkan padi.[1] Oleh karena itulah masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang agraris. Cara penyembahan ini pada akhirnya
menurut Yudi Latif (2010) membentuk sistem keagamaan yang bersifat
politeistik.[2]

 

Fase
kehidupan manusia yang senantiasa berkembang silih berganti hanyalah tingkat
peralihan dalam proses perkembangan masyarakat yang tidak pernah berakhir dari
tingkat yang lebih rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap tingkat
ini memerlukan syarat-syarat baru untuk bisa mencapai tingkatan yang lebih
tinggi. Namun ketika syarat-syarat ini berhadapan dengan syarat-syarat yang
baru, ia harus terpaksa menyerah dan akhirnya menjadi lapuk.

 

Maka filsafat dialektik
berhasil menyingkap tabir bahwa tiada sesuatu yang dapat bertahan menghadapi
syarat-syarat yang lebih baru jikalau itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat itu, kecuali hanya meninggalkan proses kehancuran dan berlangsung
tiada putusnya. Dalam proses perkembangan masyarakat, tingkatan pengetahuan dan
masyarakat hanya bisa dibenarkan untuk masanya sejauh masa itu saja.

 

Pancasila sebagai
salah satu pandangan hidup bangsa Indonesia, tidak pernah lepas dari pengaruh
nilai agama dalam masing-masing sila. Agama selain mengatur bagaimana manusia
berhubungan Tuhan, juga mengatur bagaimana hubungan antar manusia dan alam.
Untuk itulah dalam Islam, kita mengenal konsep hablum minallah, hablum
minannas, dan hablum minal alam.

 

Islam
sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia menggunakan
Al-Quran sebagai kitab suci mereka. Walaupun sebagai sumber syariat, tidak
hanya Al-Quran saja, tetapi juga menggunakan Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

Dalam
Al-Quran, penjelasan sila pertama kita temukan dalam Q.S. Al-Ikhlas ayat 1 yang
berbunyi:

 

 قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ

Artinya:
Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa

Ibnu Katsir
ketika menjelaskan makna ayat ini dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah swt
itu satu dan Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, tidak memiliki pembantu, tidak
ada yang sepadan, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang sebanding
dengan-Nya. Lafadz ini, tidak dinisbatkan kepada selain Allah swt dikarenakan
Dialah yang memiliki kesempurnaan dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya.[3] 

 

Hal ini pula
dikatakan oleh Ibnu Abbas dalam tafsirnya dengan mengisahkan bahwa ketika itu
ada orang Quraisy yang bertanya kepada Rasulull ah s.a.w agar menjelaskan
kepada mereka tentang sifat Rabbnya. Maka turunlah surat ini sebagai jawaban
atas pertanyaan mereka bahwa Allah swt adalah Esa.[4] 

 

Sumber: https://www.kompasiana.com/

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *