Jayapura (kabar-nusantara.com) – Dr. Ibrahim Peyon, Dosen Universitas Cenderawasih menjelaskan, istilah nama Suku Yali, memang istilah Yalimo orang dari suku hubula, menunjuk kepada kita orang Yali, Minggu (02/04/2023).
Tetapi orang Yali sendiri, menggunakan istilah Yalimu bukan Yalimo. Nama asli Yali dengan bahasa Yali itu Yalimu, ini tidak banyak orang tahu, menggali lebih dalam kita menemukan. Dari kata Yal, Li dan Mu.
“Kata Mu menunjukkan arah disana, kata Yal kita melihat dalam sejarah orang Yali, ada Mitos Pohon Yeli. Jadi kata Yeli, melahirkan kata Yalimu, Yali dari kata Yeli, perubahan terjadi pada kata Yal dan Li,” katanya.
Peyon menjelaskan suku hubula menyebut suku Yali sesuai arah keberadaan kampung dan suku-suku setempat arah timur. Seperti suku Yali letaknya di arah timur. Sehingga Suku hubula menyebut kami suku Yali dengan nama Yalimo.
“Asal-usul manusia Yali berasal dari Mitos Pohon Yeli, tetapi tidak banyak orang bicara berdasarkan mitos itu, orang hubula berikan nama berdasarkan pandangan mereka,” jelasnya.
Peyon menuturkan penggunaan nama Yali dikaji secara ilmiah, kata Yali lebih ke dalam, maka bertanya. Kenapa ada kata Yal dan Li. Apa itu Yal? Yal ada tangga, Li musim. Berarti tangga, musim, terang dan cahaya. Dari kata ini muncul, karena itu pohon mitos Yeli jalan keselamatan, cahaya dan terang.
“Yeli turun menjadi manusia, orang mengatakan leluhur ini datang di tengah jalan, menciptakan orang, lakukan ini dan lakukan itu. Sebagai jalan, membawa keselamatan. Istilah Yeli di gali lebih kritis, ilmiah, ke dalam, maka Yali berarti jalan keselamatan, cahaya, terang,” tuturnya.
Peyon menerangkan tidak salah orang hubula mengatakan, Yalimo berarti daerah timur tempat terbit matahari, Itu isi filosofi dasarnya. Pihaknya berharap setiap orang menggunakan nama Yali sesuai nama dari Mitos Pohon Yeli.
“Merujuk mitos pohon Yeli, kami orang yang membawa terang, maka buku itu terang, meletakkan buku ini terang. Kita hanya awal memotivasi anak-anak yang akan datang. Kemudian termasuk generasi adik, generasi kalian, generasi berikut anak-anak kami, cucu-cucu dan cicit-cicit,” terangnya.
Peyon mengatakan, peradaban manusia lahir hanya melalui tulisan, lewat tulisan orang mengenal dunia. Tidak ada tulisan, menutup semua budaya, adat dan peradaban. Tidak menulis sama halnya kita membunuh ilmu pengetahuan.
“Membunuh sejarah, membunuh peradaban. Tugas saat ini anak-anak yang akan datang harus menulis dan menulis. Kembali ke kampung, gali informasi tulis menyimpan, tulis simpan, akan bermanfaat seratus tahun sampai dua ratus tahun ke depan,” pungkasnya. (Isak)