Monolog Puisi “Nyanyi Burung Besi di Atas Meja Makan” Karya Nayla AR Menggugat Ketimpangan Sosial

Teluk Kepayang, Kabar Nusantara — Dunia sastra kembali diwarnai oleh karya puisi bernada kritik sosial berjudul Nyanyi Burung Besi di Atas Meja Makan karya Nayla AR. Puisi yang ditulis pada 25 Desember 2025 ini tampil sebagai suara protes terhadap ketimpangan, eksploitasi, dan dehumanisasi manusia dalam sistem modern yang kerap mengedepankan efisiensi di atas nilai kemanusiaan.

Melalui bahasa metaforis yang kuat, Nayla AR menghadirkan gambaran manusia yang perlahan berubah menjadi bagian dari mesin. Citra industrial seperti lampu merkuri, mur, baut, oli, dan meja kaca digunakan untuk menegaskan hilangnya batas antara tubuh manusia dan alat produksi. Waktu digambarkan sebagai pemangsa umur, sementara upah dan hak hidup layak hanya hadir sebagai sesuatu yang tercium baunya namun tak pernah benar-benar dapat digenggam.

Puisi ini juga menyoroti ironi kemajuan dan kemewahan. Kenyamanan segelintir pihak dilukiskan berdiri di atas pengorbanan yang tak terlihat, bahkan menyentuh ranah paling personal: keluarga dan masa depan generasi berikutnya. Metafora botol susu berisi oli menjadi simbol keras tentang dampak ketidakadilan yang diwariskan secara struktural.

Pada bagian penutup, puisi ini berubah menjadi peringatan moral. Retaknya langit, hujan air mata yang membeku, serta tubuh yang tak lagi mampu “terbang” karena berat dosa, menjadi gambaran konsekuensi dari ketidakadilan yang terus dipendam. Karya ini menegaskan bahwa sastra bukan sekadar keindahan bahasa, melainkan ruang perlawanan dan pengingat nurani kolektif.

Dengan gaya bahasa gelap, lugas, dan penuh imajinasi simbolik, Nyanyi Burung Besi di Atas Meja Makan menegaskan peran puisi sebagai medium kritik sosial yang tetap relevan dengan realitas kehidupan hari ini.

Teks Puisi

Nyanyi Burung Besi di Atas Meja Makan Karya: Nayla AR

Aku berdiri di sini,

di bawah lampu merkuri yang memucat.

Di kepalaku, jam dinding telah berubah menjadi laba-laba

yang memakan setiap detik umurku

dengan rahang baja.

 

Lihatlah,

tanganku bukan lagi daging dan

kuku,

tapi sekumpulan mur dan baut

yang berkarat oleh keringat sendiri.

 

Tuan, aku melihat kau duduk di balik meja kaca,

di mana awan-awan hitam keluar dari lubang telingamu.

Kau meminum kopi dari cangkir

yang terbuat dari tulang rusukku,

dan kau sebut itu sebagai “efisiensi”.

 

Tapi di dalam kopimu,

aku melihat bayangan anakku

yang menangis meminta susu,

namun hanya menemukan oli

di botolnya.

 

Kenapa upahku kau simpan

di dalam kantung udara?

Yang hanya bisa kucium baunya,

tapi tak bisa kusentuh wujudnya.

 

Di pabrikmu, matahari berhenti terbit.

Ia diganti oleh bola api

yang membakar punggung kami setiap hari. Lalu kau berkata,

“Sabar, ini adalah pengabdian.”

 

Pengabdian macam apa

yang membuat perut kami melilit

seperti ular sanca

yang memakan ekornya sendiri karena lapar?

 

Hak kami bukan butiran debu

yang bisa kau tiup dari jas mahalmu!

Setiap tetes keringat adalah benih

yang harusnya tumbuh menjadi roti,

bukan menjadi mutiara

di leher istrimu yang berkilau sepi.

 

Aku menuntut bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk ribuan bayangan

yang berdiri di belakangku,

yang mulutnya dijahit

dengan benang emas dari keuntunganmu.

 

Dengarlah!

Langit di atas gudangmu mulai retak.

Hujan yang turun bukan air,

melainkan air mata

yang membeku.

 

Jika kau terus menelan hak-hak kami,

maka perutmu akan penuh dengan batu kalidan kau takkan pernah bisa terbang lagi, sebab beratmu adalah berat dari dosa

yang kau sembunyikan

di bawah karpet kantormu.

 

— Nayla AR, 25 Desember 2025

 

Ryn/KbrNsntra

 

Exit mobile version