Tanjab barat (kabar Nusantara – Wakil Bupati Tanjung Jabung Barat, Dr. H. Katamso, SA, S.E., M.E., menghadiri Rapat Apel Kesiapsiagaan Bencana Hidrometeorologi Basah yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara virtual melalui platform Zoom. Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc, Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M., Wakil Menteri Dalam Negeri III Komjen Pol (Purn) Dr. Akhmad Wiyagus, S.I.K., M.Si., M.M., Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Teuku Faisal Fathani, Ph.D., dan Kepala Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat beserta jajaran.
Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 900 peserta dari seluruh Indonesia, yang terdiri atas kepala daerah, perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), instansi terkait, serta relawan kebencanaan dari berbagai daerah, yang menunjukkan betapa penting dan strategisnya kesiapsiagaan bencana dalam menghadapi potensi ancaman cuaca ekstrem secara nasional.
Rapat Koordinasi Nasional Apel Kesiapsiagaan Bencana Hidrometeorologi Basah bertujuan memastikan kesiapan, koordinasi, dan respons cepat seluruh unsur pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam menghadapi potensi bencana akibat cuaca ekstrem guna melindungi keselamatan warga dan meminimalkan dampak bencana.
Mengawali rapat koordinasi nasional, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyampaikan bahwa pemerintah pusat menginstruksikan seluruh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapsiagaan secara penuh menghadapi cuaca ekstrem serta tingginya mobilitas masyarakat pada masa libur akhir tahun dan pergantian tahun.
Berdasarkan survei Kementerian Perhubungan, sekitar 105 juta orang diperkirakan melakukan perjalanan antar daerah dan ke berbagai destinasi wisata. Arus balik diprediksi terjadi dalam dua gelombang, di tengah kondisi cuaca yang tidak bersahabat, sehingga membutuhkan kewaspadaan ekstra dari seluruh aparat di pusat maupun daerah.
Daerah yang terdampak bencana, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, serta sejumlah wilayah di Jawa dan Banten, diminta terus bersiaga dan memperkuat sinergi antara pemerintah daerah, BNPB, TNI, dan Polri guna mempercepat pemulihan serta memastikan pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan.
Sementara itu, daerah yang belum terdampak bencana diminta tetap waspada dengan memantau informasi cuaca secara real time, menyiapkan personel, infrastruktur, dan peralatan, serta memberikan dukungan kepada daerah tetangga yang sedang menghadapi bencana.
Pemerintah juga menekankan pentingnya percepatan pemulihan layanan dasar, meliputi infrastruktur, transportasi, telekomunikasi, layanan kesehatan, pendidikan, serta aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk pasar tradisional. Menjelang dimulainya semester baru pada 5 Januari, perhatian khusus diminta agar kegiatan belajar mengajar dapat tetap berlangsung dengan baik.
Menutup arahannya, pemerintah melalui Menko PMK mengimbau masyarakat untuk merayakan Tahun Baru secara sederhana dan penuh solidaritas, serta meminta seluruh daerah memperkuat sistem peringatan dini dan respons cepat guna meminimalkan risiko bencana hidrometeorologi.
Sementara itu, dalam laporannya, Kepala BNPB Suharyanto menyampaikan bahwa sepanjang periode 2021–2025, bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Pada tahun 2022 dan 2024, meskipun jumlah kejadian bencana melampaui 3.000 per tahun, dampak korban jiwa dan kerusakan dapat ditekan melalui upaya penanggulangan yang lebih baik.
Namun, bencana siklon yang terjadi pada November 2025 menyebabkan lonjakan signifikan dampak bencana, dengan lebih dari 1.100 korban jiwa dan kerugian material mencapai puluhan triliun rupiah. Hingga 24 Desember 2025, tercatat sebanyak 3.176 kejadian bencana di Indonesia.
Suharyanto menegaskan bahwa penanggulangan bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga membutuhkan peran aktif pemerintah daerah. Ia mengusulkan agar jabatan Kepala BPBD tidak dirangkap oleh Sekretaris Daerah, mengingat besarnya beban tugas dan perlunya fokus penuh dalam penanganan bencana.
Ia juga menekankan pentingnya BPBD memegang kendali penuh dalam penanganan bencana, dengan dukungan TNI dan Polri. Pemerintah daerah diminta segera menetapkan status siaga atau tanggap darurat saat bencana terjadi, agar bantuan dari pemerintah pusat dapat segera disalurkan.
Untuk meningkatkan kesiapsiagaan, BPBD di daerah diminta memastikan kesiapan peralatan, jalur evakuasi, serta memperkuat peta risiko di wilayah rawan. Edukasi kepada masyarakat terkait langkah-langkah evakuasi, khususnya di daerah rawan tanah longsor, juga perlu terus ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang sama, Kementerian Dalam Negeri kembali mengingatkan seluruh kepala daerah untuk memperkuat kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi dengan berpedoman pada regulasi yang berlaku. Penegasan ini disampaikan seiring meningkatnya eskalasi bencana akibat cuaca ekstrem di sejumlah wilayah.
Wakil Menteri Dalam Negeri Akhmad Wiyagus menegaskan bahwa dasar hukum penanggulangan bencana telah diatur secara jelas, mulai dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hingga Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 101 Tahun 2018. Seluruh regulasi tersebut wajib dipedomani oleh kepala daerah dalam setiap tahapan penanganan bencana.
Ia juga menekankan pentingnya pemanfaatan informasi peringatan dini dari BMKG secara real time dan penyebarluasan informasi tersebut kepada masyarakat. Praktik yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumedang, yang menyalurkan informasi BMKG melalui grup WhatsApp hingga tingkat RT dan desa, dinilai sebagai langkah efektif dalam meminimalkan risiko bencana.
Berdasarkan data BNPB periode 2015–2024, tercatat 70 kabupaten/kota memiliki risiko hidrologi tinggi. Dari jumlah tersebut, 12 daerah masuk kategori Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tinggi dan 58 daerah kategori sedang, dengan tingkat kemampuan fiskal yang beragam.
Kemendagri juga telah menerbitkan sejumlah surat edaran strategis yang mendorong pemetaan risiko, simulasi tanggap darurat, pembentukan posko lintas sektor, serta pemanfaatan Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk penanganan bencana. Kepala daerah diminta tidak ragu menggunakan BTT karena dasar hukum penggunaannya telah tersedia.
Menutup arahannya, Wamendagri menegaskan bahwa tingginya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur akibat bencana harus menjadi peringatan keras bagi seluruh kepala daerah agar tidak lagi mengabaikan mitigasi, kesiapsiagaan, serta upaya perbaikan infrastruktur dan normalisasi sungai sebagai langkah pengendalian banjir dan tanah longsor.( Misdi)