“Sajak Minyak Jelantah”: Monolog Kelam dari Dapur Rakyat

Karya Sastrawan Tanah Bumbu, Nayla AR (AHMAD RIYAN NAILANIE, S.Pd.)

Di dapur-dapur kecil yang dindingnya menghitam, bau jelantah sudah lama menjadi penanda hidup. Di sanalah, di antara panci yang mengelupas dan kompor yang menyala pelan, lahir sebuah monolog yang mengguncang: “Sajak Minyak Jelantah”, karya sastrawan Tanah Bumbu, Nayla AR — nama pena dari AHMAD RIYAN NAILANIE, S.Pd.

Lahir di Kotabaru pada 28 Mei 1993, Nayla AR adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 2 Kusan Hulu. Ia juga dikenal sebagai penyair dan cerpenis yang telah melahirkan buku puisi tunggal “Dendam Anak pada Sebatang Pohon.”

Karyanya bukan sekadar rangkaian kata, tetapi cermin tajam kehidupan rakyat kecil.

Di Antara Asap dan Jelaga

Dalam monolog itu, seorang buruh berjalan “di atas bara” sejak fajar hingga malam — bukan karena semangat, melainkan kelaparan.

Jalan berlubang, pabrik muntah asap, dan langit yang tak pernah benar-benar biru menjadi latar hidup mereka.
Dan di atas semuanya itu, ada satu aroma yang selalu kembali: jelantah.

Minyak hitam itu bukan lagi sekadar limbah dapur; ia sudah berubah menjadi identitas — menempel di kulit, melekat di rambut, merasuk ke napas hingga doa.

Yama: Suara Leluhur di Tengah Kelaparan

Sosok Yama hadir bagaikan bayangan sejarah. Ia bukan ancaman, melainkan saksi bisu pada hidup yang tak pernah selesai dibayar.

Dengan mata merah seperti lampu pabrik, Yama bertanya:

“Apa yang hitam kental membunuh pelan tapi tetap kita goreng setiap hari?” “Jelantah…” begitu jawab buruh itu.

“Apa yang lahir kalau perut kosong bertemu api kecil?” “Pemberontakan…”

Inilah momen ketika puisi, kehidupan, dan perlawanan bertemu pada satu ruang: dapur rakyat.

Bara yang Tak Pernah Padam

Dalam puncak monolog, Yama meleleh menjadi ribuan tangan buruh, ribuan suara rakyat kecil.

“Bakar jelantah ini di tungku perlawanan… dari bau gosong ini kita lahirkan bau kebebasan.”

Pada kalimat ini, jelantah berubah — dari sampah menjadi simbol perubahan. Dapur rakyat yang selama ini sunyi mendadak menjadi panggung kesadaran sosial.

Penutup: Dari Jelantah Kita Bangkit

Nayla AR menutup puisinya dengan angka 1945. Bukan sebagai nostalgia, melainkan pengingat bahwa keberanian pernah lahir dari tempat-tempat kecil: dari rumah kayu, dari dapur sempit, dari rakyat yang lapar.

Kini, dalam monolog itu, api kecil di bawah wajan kembali menyala — bukan sekadar untuk memasak, tetapi untuk menghidupkan harapan yang lama padam.

Tentang Penulis Monolog

Nayla AR (AHMAD RIYAN NAILANIE, S.Pd.)

Sastrawan Kabupaten Tanah Bumbu

Guru Bahasa & Sastra Indonesia

Kelahiran Kotabaru, 28 Mei 1993

Penulis buku tunggal Dendam Anak pada Sebatang Pohon

Aktif menulis puisi dan cerpen dengan tema sosial, ekologi, dan ketimpangan kelas.

Ryn/KbrNsntr

 

Exit mobile version