Usulan Penundaan Pemilu merupakan “Pembangkangan Konstitusi”

Fahri Bachmid :

Jakarta (kabar-nusantara.com) – Penundaan Pemilu yang
berdampak pada perpanjangan masa jabatan jabatan publik tidak sejalan dengan
spirit konstitusi. Hal itu diungkap Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim
Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, SH, MH dalam keterangan tertulis kepada wartawan,
       dilansir dari laman nusnet.id, Minggu
(27/2/2022).

 

Etisnya, diskursus imajiner mengenai menunda Pemilu yang
tentunya berimplikasi pada tatanan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil
Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan Publik lainya
diahiri, sebab wacana itu adalah sangat tidak bermuatan maslahat, malahan
sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara.

 

“Usulan penundaan Pemilu merupakan constitution disobedience
atau pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Fahri Bachmid.

 

Menurut Fahri, jika dilihat dari berbagai alasan serta
justifikasi yang coba dikemukakan pengusul penudaan Pemilu, secara teoritik
maupun konstitusional tidak ada jalan yang disediakan oleh UUD 1945 dan tidak
berangkat dari “reasoning” yang memadai. Sebab hal itu bukanlah tindakan yang
didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.

 

Misalnya secara objektif negara dalam keamanan atau
ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik
Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan- kerusuhan atau akibat bencana
alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan
secara biasa; atau timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan
perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia.

 

Dengan cara apapun juga; atau gangguan keamanan yang
berdampak holistik,berdasarkan Perpu No. 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya atau
berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan “staatsnoodrechts”
(keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam
keadaan darurat), sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan
sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku,
berdasarkan ajaran hukum suatu keadaan darurat negara (state of emergency),”
paparnya

 

Jika memang alasan itu ada, Fahri mengatakan, maka Presiden
mendasarkan diri pada prinsip proporsionalitas (the principle of
proporsionality) yang dikenal dalam hukum internasional, prinsip ini dianggap
sebagai “the crus of the self defence doctrine” atau inti dari doktrin self
defence. Secara inheren prinsip proporsionalitas dianggap memberikan standar
mengenai kewajaran (standard of reasonabeleness).

 

“Sehingga kriteria untuk menentukan adanya “necessity”
menjadi lebih jelas, kebutuhan yang dirumuskan sebagai alasan pembenar untuk
melakukan tindakan yang bersifat darurat, proporsional, wajar atau setimpal
sehingga tindakan dimaksud tidak boleh melebihi kewajaran yang menjadi dasar
pembenaran bagi dilakukannya tindakan itu sendiri,” katanya.

 

Disampaikan Fahri, prinsip “necessity” termasuk mengambil
dan menetapkan beleeid tertentu, yang salah satunya adalah opsi Dekrit dengan
segala konsekwensinya, baik politik maupun hukum, untuk menunda pelaksanaan Pemilu
2024.

 

Dengan demikian, konsep usulan penundaan Pemilu yang
disampaikan oleh interest group tersebut setelah ditelaah secara mendalam dan
cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran serta berakibat terjadinya
pembangkangan secara terbuka terhadap konstitusi.

 

“Dan lebih jauh mempunyai daya rusak yang sangat elementer,
dan destruktif terhadap perkembangan konsolidasi demokrasi konstitusional yang
telah diatur dalam konstitusi,” paparnya.

 

Menurut Fahri, dalam suatu negara demokrasi konstitusional,
setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara adalah sesuatu yang
generik, tetapi harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral
tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan
negara. Dan idealnya harus berangkat dari spirit sebagai negarawan sejati.

 

Secara filosofis sebut dia, adagium hukum yang menegaskan
bahwa “ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat disitu ada hukum, keberadaan
hukum pada masyarakat merupakan instrumen penting untuk menciptakan ketertiban
di masyarakat karena dalam suatu lingkungan sosial dimana hubungan relasi antar
sesama manusia sering menimbulkan potensi konflik antar kepentingan masyarakat
tersebut, yang keberadaannya menjadi sangat penting.

 

Oleh sebab itu, sebagai alat “tool” untuk menjaga dan
menjamin adanya ketertiban sosial, maka ketaatan terhadap hukum (konstitusi)
wajib untuk dilaksanakan. Secara doktrinal, Indonesia sebagai negara demokrasi
konstitusional, tentunya menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang
supreme, serta wajib untuk dilaksanakan, bukan untuk diperdebatkan yang pada
ahirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi
itu sendiri, “constitution disobedience”.

 

“Pada hakikatnya UUD NRI Tahun 1945 harus dipedomani dan
dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara negara, serta
pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam
pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul,”
tambahnya.

 

Fahri berpendapat, usulan penundaan Pemilu ini tentunya
tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi, sehingga
tentunya menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu
sendiri, dengan demikian usulan itu hanya dapat dipandang sebagai “Ius
constituendum”  atau konsep hukum yang
dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi.

 

“Sebagai sebuah negara hukum, kita wajib menjunjung tinggi
hukum dan konstitusi “UUD NRI Tahun 1945 atau “Ius constitutum”

 

Bahwa pelembagaan Pemilu telah didesain sedemikian rupa
dalam kesisteman UUD 1945, agar prinsip kedaulatan rakyat secara esensial dapat
disalurkan secara “fixed term” demi tercipta suatu tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang aman, damai, serta tertib demi mencapai tujuan negara yang
sesungguhnya,” tambahnya.

 

Fahri berpendapat, bahwa hal ini telah terkonfirmasi melalui
rumusan-rumusan teks konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3),
yang diatur bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, selanjunta disebut bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”.

 

Kemudian ketentuan selanjutnya adalah Pasal 2 ayat (1) yang
rumusanya adalah “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

 

Selanjutnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden,
secara limitatif dan definitif juga telah diatur dalam ketentuan norma pasal 7
UUD 1945.

 

Pasal 7 mengatur secara “expressis verbis” bahwa “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

 

Selanjutnya, ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)
yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan selanjutnya
ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

 

Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah
mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap
lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk
memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih
Presiden dan Wakil Presiden.

 

“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari
rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi.
Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi
personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional
“suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” katanya.

 

Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain
konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan
keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik yang
di isi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. Sebab
tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu.

 

“Jika memang dipandang perlu dan penting untuk harus diatur
suatu mekanisme serta jalan keluar konstitusional jika terjadi keadaan hukum
krisis konstitusional “constitutional crisis” jika Pemilu tidak terselengara
sebagaimana perintah konstitusi karena terjadi beberapa keadaan seperti
terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan, bencana alam dan
lain-lain.

 

“Sehingga berakibat pada tidak terselenggaranya pelaksanaan
Pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu, sehingga perlu difikirkan
untuk diberikan kewenagan atributif kepada MPR untuk dapat menetapkan penundaan
Pemilu sampai pada batas waktu tertentu,” paparnya.

 

“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui
amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara
atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi
perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta
mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.

 

Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini
dengan alasan-alasan penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh
pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang
konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah
konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi
bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen.

 

Asumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik
Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada)
ditengah pendemi pada tahun 2020.

 

Secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk
merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk
mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “staatsnoodrecht”
atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “overmacht atau
force majeure”.

 

“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya
sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan
amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal
22E. Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif.

 

Dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat
berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945
melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat
dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya
lebih kredible,” katanya.

 

Diberitakan sebelumnya, diskursus penundaan Pemilu diusulkan
Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar dan diamini oleh
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan.

 

Alasan mereka menyuarakan penundaan Pemilu beragam, mulai
dari situasi perekonomian negara sedang sulit dan beberapa implikasi lainya,
pendemi yang sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir,
rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan, sehingga sekelompok
masyarakat ada yang meminta diperpanjang tiga periode, dan yang terakhir soal
invasi Rusia vs Ukraina. (by White hair /sya/ril/zas)

 

Sumber: https://nusnet.id/2022/03/01/fahri-bachmid-usulan-penundaan-pemilu-merupakan-constitution-disobedience-pembangkangan-konstitusi/

Exit mobile version