(Kabar Nusantara) – Pada saat ini, berbagai macam jenis seni, baik itu seni pertunjukan maupun seni rupa banyak muncul di ranah publik. Terlebih lagi pascapandemi Covid-19, seperti saluran air yang jebol dari bendungannya. Lebih dari dua tahun para seniman harus menahan diri untuk bereskresi. Manakala kran tersebut sudah dibuka, ekspresi mereka dapat terlampiaskan dengan maksimal.
Namun apabila diamati dengan jeli, warna seni yang ditampilkan dalam proses perjalanan waktu, masih banyak karya yang belum menunjukkan karya inovasi. Mereka masih terus melanjutkan karya seni terdahulu, hanya dipoles di berbagai elemen, agar tidak menunjukkan kesamaan dengan karya seni yang sudah diciptakan sebelumnya.
Sebagai contoh, untuk seni pertunjukan tradisional, belum memunculkan karya inovasi. Seperti Topeng Ireng, Grasak, Kuda Kepang, Kobrasiswa, wayang, sendratari, ketoprak, dan sebagainya. Karya-karya kreatornya belum menggigit dan menyita perhatian publik. Karya yang disajikan hampir sama dengan yang pernah ditampilkan sebelumnya. Demikian juga untuk seni pertunjukan lain termasuk seni rupa.
Mengembangkan imajinasi
Menyikapi hal tersebut, kiranya perlu dikembangkan potensi imajinasi yang dimiliki oleh masing-masing individu sebagai kreatornya. Pada dasarnya implikasi imajinasi adalah format gambaran atau ide sehingga memunculkan konsep pengetahuan. Imajinasi dapat dikonotasikan sebagai proses untuk membangun kembali persepsi dari sesuatu objek atau mengelaborasikan daya cipta atau khayalan.
William Blake, pelukis dan penyair abad ke-19 dari Inggris berasumsi, bahwa imajinasi membawa ranah manusia ke pembebasan jati diri dan keselamatan sejati. Bukan sekadar menciptakan karya seni, imajinasi juga memiliki potensi menciptakan berbagai konsep pembangunan dan pengembangan suatu bangsa. Kemampuan manusia untuk mengelaborasikan imajinasi adalah hal yang sangat penting, karena hal tersebut merupakan hasil dari segala kesadaran manusia terhadap realitas kehidupan.
Imajinasi dapat mengerucut sebagai hasil abstraksi terhadap segala data yang diterima dalam pengalaman hidup. Resultansi dari proses integrasi antara emosi dan kognitif yang lalu terwujud berupa citra atau simbol. Adapun ranah majinasi yang tertuang dalam karya seni merupakan kiat yang membawa manusia untuk melakuakn proses penciptaan dengan segala tekniknya. Dapat diyakini, semua aspek seni hadir dalam setiap aspek penciptaan, mulai kiat-kiat manusia dalam mempertahankan kehidupannya hingga terobosan dalam bidang sains dan teknologi, termasuk dampak-dampak yang menyertainya (Eko Priyantoro, 2019).
Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi imajinasi.Tergantung mau mengasah atau tidak. Ibarat sebilah pisau, apabila tidak sering dipakai tentu akan tumpul. Imajinasi dapat tumbuh dari beberapa faktor, di antaranya, pertama kemampuan reflektif. Faktor ini lebih cenderung pada mengolah kembali pengalaman nyata yang pernah dialami oleh kreatornya. Sebagai contoh, pada aspek seni rupa, seseroang melukis gambar dalam aliran naturalisme, karena ia memiliki imajinasi pengalaman hidupnya di desa tempat kelahirannya sejak kecil. Seorang pemusik menciptakan arensemen musik dengan memadukan antara musik diatonis dan pentatonis, karena pengalamannya dari kecil sampai dewasa selalu bergumul dengan dua jenis musik tersebut secara berkelanjutan.
Kedua, kemampuan membaca sumber referensi. Kapabilitas dalam membaca referensi ini terkait erat dengan kemampuan menggali dari bahan bacaan sebagai sumber referensi. Dari membaca tentunya akan mamantik ranah imajinasi dalam menggali gagasan-gagasan aktual untuk menghasilkan suatu karya.
Penulis memiliki pengalaman menarik dari membaca ini. Dari kecil penulis memiliki kegemaran membaca komik wayang karya Kosasih dari Bandung. Dengan membaca yang sudah menjadi pembiasaan, ketika akan membuat karya koreografi dengan tema wayang, sepertinya imajinasi selalu muncul dan tak pernah putus sehingga kreativitas dengan sendirinya dapat terbangun.
Ketiga, kemampuan sosialitas. Pada dasarnya kemampuan sosialitas ini mengharapkan seniman mengedepankan budaya bergaul atau srawung dengan banyak komunitas. Srawung mengandung filosofi yang mendalam. Srawung tidak hanya dimaknai sebagai sebuah perjumpaan. Dari pergumulan selama srawung tersebut akan membentuk satu rasa atau kebersamaan untuk bisa saling belajar, menambah cakrawala pandang, termasuk menimba inspirasi.
Dengan demikian, srawung merupakan bagian dari tatanan nilai yang melekat secara spesifik dalam khazanah kesadaran di kalangan komunitas. Dalam srawung, masyarakat bisa saling berbagi atau menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya, baik itu yang ada dalam pola pikirnya maupun perasaannya, bisa saling dibagikan, dengan harapan pengetahuan mereka akan lebih berkembang dan terbarukan.
Sosialitas antar seniman ini, tentunya akan dapat mamantik imajinasi positif. Perjumpaan dengan sesama seniman atau berbagai komunitas, akan dapat memberikan pengayaan yang membuka peluang luas memunculkan imajinasi guna memulai dalam melakukan proses kreatif. Dari diskusi, pentas seni pertunjukan bersama, atau saling mengunjungi pameran seni rupa akan menambah wawasan apresiasi seseorang, sehingga rangsang ide akan terbangun. Rangsang ide tersebut tentunya muncul dari dampak imajinasi seseorang yang selalu gelisah untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam setiap hasil karyanya.
Aksi nyata
Pada dasarnya kekuatan imajinasi yang dimiliki masing-masing pribadi baik sebagai seniman atau pribadi, akan dapat berkelanjutan bila diikuti aksi nyata untuk membuahkan suatu karya. Imajinasi tanpa aksi nyata ibaratnya hanya suatu obsesi atau halusinasi saja. Oleh karena itu, imajinasi perlu diikuti dengan suatu kiat untuk melakukan proses kreatif.
Dalam aspek seni tari, kekuatan imajinasi akan membuahkan rangsang ide untuk melakukan eksplorasi, menyusun kinestetik (gerak tari), komposisi tari, pengolahan musik, pola lantai, sampai menghasilkan suatu bentuk karya tari, baik karya tari dramatik (bercerita) maupun non dramatik (tanpa cerita).
Contoh konkretnya, bila koreografer ingin mengggarap tari bertemakan relief Candi Borobudur Romansa Manohara, yaitu kisah cinta antara Pangeran Sudhana dengan Putri Manohara. Tentunya koreografer harus melakukan ekplorasi, melihat dan memejari detail reliefnya. Kisah Romansa Manohara tersebut dapat diamati mulai dari panel 1-20 yang terletak di lantai satu, arah timur selatan pada dinding dalam deret bawah.
Adapun tindakan ekplorasi tersebut merupakan hasil dari pengolahan ranah imajinasi korografer. Apabila ranah imajinasi koreografer tidak terbangun, karya yang disajikan akan monoton, layaknya naskah tekstual saja.
Oleh karena itu, proses kreatif para seniman perlu diimbangi dengan kekuatan imajinasi agar karya yang dihasilkan dapat memiliki jiwa, bukan hanya sekadar keindahan estetika saja, namun mengandung nafas spiritual yang menunjukkan ciri spesifik dari karya yang dihasilkan. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro
Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
Provinsi Jawa Tengah
Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta